Habis Gelap Terbitlah Terang: Sebuah Refleksi



Kita semua bersaudara bukan karena kita seibu-sebapak, melainkan karena kita anak seorang Bapak, anak Dia, yang bertakhta di atas langit
 (Tulis Kartini dalam salah satu surat yang ditujukan kepada Nona E.H Zeehandelaar, sahabat penanya)

Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pandangan keagamaannya. Apakah dia seorang NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, atau bahkan Salafi-Wahabi sekalipun. Realita yang mesti diterima dengan hati yang terbuka adalah, bahwa Islam diwujudkan dengan berbagai ekspresi. Bahwa Tuhan diimani dengan banyak cara. Bahwa ajaran Rasul dimanifestasikan dengan beragam bentuk. Bagi perempuan Indonesia misalnya, apakah Ia akan berjilbab, atau memilih bersanggul dan berkebaya, bahkan mungkin berkerudung lebar dan bercadar. Semua itu adalah pilihan mutlak bagi pemakainya.
Saya sendiri adalah seorang perempuan berkerudung lebar, tapi saya menghargai perempuan berkebaya sebagaimana saya menghargai wanita yang bercadar. Sehingga tak usah kiranya kita saling curiga. Berfikir bahwa yang bercadar sudah pasti teroris, atau paling tidak mengamini berbagai peristiwa bom bunuh diri. Atau sebaliknya, merasa suci karena bercadar dan memandang rendah wanita lain. Kita semua memiliki kebebasan berekspresi yang sama. Semua hanya masalah cara, dengan tujuan yang sama, menjadi baik. Maka tidak boleh dikatakan bahwa perempuan bersanggul dan berkebaya lebih mencintai tanah airnya daripada perempuan bergamis dan bercadar. Juga sama tidak bolehnya dikatakan bahwa perempuan bergamis dan bercadar lebih agamis dari pada perempuan yang bersanggul dan berkebaya. Sungguh benar apa yang dikatakan seorang Komunis, Pram, bahwa Adil sejak di alam pikiran itu sulit.
Islam adalah wajah dengan banyak ekspresi, begitulah saya menyebutnya. Bukankah ajaran Islam terlalu luas untuk dilakukan seorang diri? Maka kebanyakan dari kita mengamalkan sebagiannya saja. Sedang yang lain, juga fokus mengamalkan kebaikannya. Ada yang sibuk mencari ilmu, ada yang banting tulang menghidupi keluarga, juga ada yang berjuang untuk keadilan kaum marginal, ada pula yang berjuang keras untuk berdakwah. Maka manakah yang paling baik?
Berlomba dalam kebaikan itu usah, namun jika perlombaan disertai penghakiman atas perbuatan orang lain maka tak usah. Sebab untuk menjadi baik, tidak perlu menjelekkan yang lain. Meminjam bahasa R.A Kartini, Agama seharusnya menjadi pertalian bagi semua makhluk Tuhan. Tapi nyatanya, tidak pernah ada persaudaraan dalam perbedaan, semua mengaku menjadi yang paling baik dan benar. Lanjutnya, Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah- tengah tiap bangsa.

Siapapun yang berbudi baik, ia adalah Hamba Tuhan. Begitulah pelajaran besar yang diajarkan kepada saya, melalui tulisan beliau(R.A. Kartini), yang terhimpun dalam Door Duisternistot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.

Comments